“Berbuat baik itu tidak mudah, namun lebih tidak mudah lagi berbuat tidak baik”, berbuat baik itu harus dibiasakan dan pembiasaan atau habituasi itu harus sedikit dipaksakan. Kebiasan-kebiasan baik cenderung hadir karena sedikit pemaksaan awalnya, mengapa demikian ? karena untuk membangun pembiasaan sebagaimana karakter manusia, memang harus dipaksakan awalnya sembari difasilitasi untuk memahami serta mengerti mengapa hal demikian itu dilakukan.
Tengoklah
bagaimana ketika kita kecil, sedari lahir kita tidak terasa dilakukan
pembiasaan oleh orang tua kita meski terkadang sedikit dipaksa. Mulai kita
belajar tengkurap, merangkak, berjalan, berbicara dan bahkan hingga kini ketika
kita dihadapkan pada kemajuan teknologi yang harus kita manfaatkan untuk
penyelesaian berbagai tugas, pekerjaan dan bahkan hobi yang kita sukai, kita
dipaksa untuk membiasakannya.
Ada 3 potensi
besar yang dimiliki oleh manusia yang harus terus dipaksa untuk dikembangkan,
hal itu adalah : Komunikasi, Intuisi dan Adversity. Ketiga
potensi ini mampu menjadikan setiap orang memiliki berbagai macam keahlian atau
talenta. Namun, ketiganya harus diasah dengan maksimal dengan belajar tanpa
henti, baik belajar secara keilmuan maupun pengalaman.
Mendengar juga
menjadi bagian terpenting dalam sebuah komunikasi, kredo Good Speaker is good
listener – Pembicara yang baik adalah seorang pendengar yang baik merupakan
pakem yang harus dipahami setiap orang, bukankah ketika kita kecil untuk bisa
berbicara harus merekam berbagai macam informasi melalui indera penglihatan dan
pendengaran untuk kemudian diendapkan dalam memori otak kita, sehingga mampu
menjadi sumber untuk selanjutnya kita komunikasikan melalui sebuah pembicaraan.
Berbicara
merupakan sebuah ungkapan dari apa yang ingin disampaikan dari dalam hati serta
pikiran. Mengangkat berbagai tema yang ada dan telah dipersiapkan, mengulasnya
menjadi jauh lebih memahami dan mengerti akan makna permasalahan yang sedang
didiskusikan. Didalam sebuah pembicaraan, etika juga menjadi hal yang haruslah
sangat diperhatikan. Era dimana teknologi informasi menjadi sebuah keharusan
untuk dijalani, HP – hand phone dengan nomor pribadi seolah menjadi eksistensi
sekaligus sebagai identitas diri. Yang seringkali terjadi, ketika kita
membangun sebuah komunikasi adalah pembicara fokus pada apa yang disampaikan
namun yang mendengarkan sembari utak-atik HP meski tetap mendengarkan.
Ketahuilah, bahwa hal ini adalah bentuk pribadi yang jauh dari etika dan
kepribadian diri. Senyapkan dan letakkanlah sejenak piranti teknologi informasi
anda, lalu fokuslah untuk saling menguatkan tatapan mata dengan pembicara, ini
sesungguhnya jauh lebih menghargai.
Intuisi dapat
bermakna ide atau gagasan yang muncul dari seorang individu dan digunakan
sebagai pertimbangan dalam mengambil sebuah keputusan tanpa didahului dengan
analisis yang disengaja. Isu tentang intuisi sudah diperdebatkan oleh para
filsuf dan ilmuwan sejak zaman Yunani kuno dan baru saat ini para peneliti
mengetahui bagaimana intuisi terbentuk dan dari mana asalnya.
Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa intuisi dapat membantu seseorang dalam
mengambil keputusan yang benar. Contohnya, Penelitian yang dilakukan pada tahun
1980-an yang melibatkan para perawat sebagai respondennya, menunjukkan bahwa
perawat yang telah bekerja dalam waktu yang lebih lama, dapat membuat keputusan
yang cepat tetapi hasilnya baik dan benar. Pada penelitian tersebut, munculnya keputusan
yang cepat disebut dengan intuisi. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa seseorang
yang menentukan pilihan dengan cepat dan menggunakan intuisinya lebih sering
menghasilkan keputusan yang tepat.
Di dalam otak,
terdapat dua tipe sistem berpikir, yaitu sistem sadar dan sistem tidak sadar
(bawah sadar). Bagian otak yang mengatur sistem sadar manusia adalah otak kiri
dan sistem ini bekerja secara lebih lambat, menjadi pusat analisis, rasional,
bekerja berdasarkan fakta dan pengalaman yang pernah terjadi, serta semua yang
dikerjakan sistem ini diketahui oleh Anda. Sementara sistem bawah sadar atau
tidak sadar, diatur oleh otak kanan, bekerjanya tidak diketahui secara sadar,
dan menghasilkan respon yang cepat.
Intuisi diatur
oleh sistem bawah sadar Anda. Intuisi sebenarnya juga berasal dari informasi
atau pengalaman yang pernah Anda alami sebelumnya, namun informasi tersebut
berada di alam bawah sadar Anda. Ketika intuisi muncul maka keputusan itu
adalah keputusan yang muncul dari alam bawah sadar Anda. Intuisi juga perlu
diasah. Menurut para peneliti, intuisi akan berubah menjadi lebih baik seiring
dengan bertambahnya waktu dan tergantung dengan seberapa sering Anda
menggunakannya. Menjadi orang yang berintuisi jauh lebih kuat ketimbang
intelektual sehebat apapun, kata mendiang pendiri Apple, Steve Jobs.
Albert Einstein
pernah menyebut bahwa intuisi adalah hasil dari pengalaman intelektual yang dirasakan
sebelumnya. Intuisi datang dari rekognisi yang terjadi terus menerus.Analoginya
adalah saat akan berangkat bekerja di pagi hari, menentukan akan membawa payung
atau tidak. Ketika melihat langit mendung, informasi di otak akan bekerja dan
berpengaruh pada pengambilan keputusan. Jika langit mendung, besar kemungkinan
terjadi hujan, maka perlu antisipasi dengan membawa payung.
Ada 7 tanda-tanda seseorang
memiliki intuisi tinggi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Mempunyai
kelebihan sensitifitas dibanding dengan orang lain.
2.
Lebih
banyak menggunakan perasaan.
3.
Mampu
merasakan dengan jelas emosi yang dirasakan orang lain.
4.
Cenderung
membutuhkan lebih banyak waktu sendiri untuk berpikir.
5.
Ketika
baru pertama kenal dengan orang, merasakan ketidaksukaan tanpa alasan.
6.
Mengambil
keputusan dengan mempertimbangkan dampak untuk orang lain.
7.
Pernah
bermimpi tentang sesuatu kemudian jadi kenyataan.
Adversity - Menurut bahasa, kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang
berarti kegagalan atau kemalangan (Echols & Shadily, 1993: 14). Menurut
Rifameutia (Reni Akbar Hawadi, 2002: 195) istilah adversity dalam kajian
psikologi didefinisikan sebagai tantangan dalam kehidupan. Adversity
quotient (AQ) dikembangkan pertama kali oleh Paul G. Stoltz. seorang konsultan
yang sangat terkenal dalam topik-topik kepemimpinan di dunia kerja dan dunia
pendidikan berbasis skill (kemampuan yang dimiliki seseorang). Menurut Stoltz
(2005) AQ merupakan kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah
kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah
tantangan untuk menyelesaikannya.
Stoltz (2005)
menyatakan bahwa seseorang yang dapat bertahan, mengelola, dan menyelesaikan
berbagai permasalahan yang di hadapinya merupakan definisi dari AQ. Menurut
Binet dan Simon (dalam Alder, 2001) seseorang dapat mengatasi masalah dalam
kehidupannya ketika memiliki tiga komponen dalam dirinya, yaitu :
1. Kemampuan
mengarahkan pikiran atau tindakan
2. Kemampuan
mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan
3. Kemampuan
mengkritik diri sendiri
Menurut Stoltz
(2007) ada empat dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan adversity
quotient yang tinggi, yaitu :
1.
Kendali/Control
( C )
Kendali adalah seberapa besar orang mampu mengontrol kesulitan-kesulitan
yang dihadapinya sehingga tidak sampai mengganggu kehidupan individu tersebut
dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam
peristiwa yang menimbulkan kesulitan.
2.
Daya tahan/Endurance
( E )
Daya tahan atau endurance adalah persepsi seseorang akan lama atau
tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian
tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan yang
tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau
tantangan yang sedang dihadapi.
3.
Jangkauan/Reach
( R )
Jangkauan merupakan sejauh mana kesulitan- kesulitan yang dialami
oleh individu akan menjangkau bagian lain dari kehidupan individu itu. Reach
juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain
dari kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan kemampuan dalam
melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress.
4.
Kepemilikan/Origin
and Ownership ( O2 )
Kepemilikan adalah pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab kesulitan. Orang yang memiliki rasa kepemilikan yang rendah akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri.
Hal berikut
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi AQ, antara lain:
1.
Daya
Saing – Jason Sattefield dan Martin
Seligman (dalam Stoltz, 2005), menemukan individu yang merespon kesulitan
secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil
lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan
menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Oleh karena itu, kesiapan
dalam menghadapi tantangan sangatlah dibutuhkan agar dapat mencapai kesuksesan.
2.
Kreativitas – Joel Barker (dalam Stoltz, 2005), kreativitas muncul dalam
keputusasaan, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang
ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang
yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif.
Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang
oleh hal-hal yang tidak pasti.
3.
Motivasi – Dari penelitian Stoltz (2005) ditemukan orang-orang yang AQ-nya
tinggi dianggap sebagi orang-orang yang paling memiliki motivasi.
4.
Mengambil
Resiko – Satterfield dan Seligman (dalam
Stoltz, 2005) menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih
konstruktif, bersedia mengambil banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial
pendakian.
5.
Perbaikan – Perbaikan terus-menerus perlu dilakukan supaya individu bisa
bertahan hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu juga karena
individu yang memiliki AQ yang lebih tinggi menjadi lebih baik. Sedangkan
individu yang AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.
6.
Ketekunan – Ketekunan merupakan inti untuk maju (pendakian) dan AQ individu.
Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus walaupun dihadapkan
padakemunduran-kemunduran atau kegagalan.
7. Belajar – Carol Dweck (dalam Stoltz, 2005), membuktikan bahwa anak-anak dengan respon-respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.
Akhirnya dengan
berbekal 3 potensi besar yang dimiliki oleh manusia tersebut, yakni : Komunikasi,
Intuisi dan Adversity, yang terus dikembangkan akan mampu menghadirkan
segala apa yang selama ini menjadi harapan bisa terlahir sebagai sebuat
kenyataan. Paksakan diri anda untuk terus belajar meningkatkan kemampuan berkomunikasi,
mengasah kepekaan intuisi dan kemampuan menyelesaikan tantangan dalam kehidupan,
hingga kemenangan akan berada di genggaman. (Disarikan dari kristalisasi pemikiran
pribadi dan berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar