Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai
Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka
berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang
kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan
beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada
kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan
Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi
jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang
Nabi."
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian
inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci
(gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu,
memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya
sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada
kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya,
tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis
makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa
yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah
yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang
dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh
katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat
ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia
sedang berkicau?"
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir
sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu
hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu,
pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil
berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi,
dan agama Islam itu adalah bathil!"
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit
dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu
sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib.
Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama
Islam!"
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya:
"Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi
oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke
rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung
atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi
Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil
berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu
kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang
sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan
kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah
mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai
seribu macam cabang ilmu!"
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata:
"Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku
nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di
dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"
"Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata
Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci
(gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi
Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria
maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik
sampai ke hadhirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci
apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu
ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul Allah!"
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara
mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih
lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat
berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan
Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as.
dibawa keliling ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi:
"Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada
bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah
semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada
kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar
tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak
sadar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya:
"Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas
permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang
dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima makhluk itu
ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba
Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor
ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah
mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a.
lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil
berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah
dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya
agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada
anda."
"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,"
sahut Imam Ali.
"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang
yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali
oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: "Hai pendeta
Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah
dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan
kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak
mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba
sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja
mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah
mereka dari awal sampai akhir!"
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya,
menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke
pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah
s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri
Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.
Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah
Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak
di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja
yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh
seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak
dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan
akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota
kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu
berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan
kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara
Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar.
Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula
di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam
selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari
emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia
80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan
duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas,
untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di
atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi
sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku
dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali
menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas,
berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya
laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50
orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai
selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera
berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah.
Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di
belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari
anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau
pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lehih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di
kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya
berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata:
"Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang
yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab:
"Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga
orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha,
Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di
sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja
selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian
murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang
yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini
kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang
berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat
lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian
murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan
bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke
tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu
lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap
yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana
kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit
apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur,
berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan
sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai
"tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka
dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua
orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi
memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang
duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah
seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke
dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap
raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota
yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan
sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati:
"Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya,
tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air
besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu
mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran.
Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha
sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai
Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?"
"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku
sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin
minum, juga tidak ingin tidur."
Teman-temannya mengejar: "Apakah yang merisaukan
hatimu, hai Tamlikha?"
"Sudah lama aku memikirkan soal langit,"
ujar Tamlikha menjelaskan. "Aku lalu bertanya pada diriku sendiri:
'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan
terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari
bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah
yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian
kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di
cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak
goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku
sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?
Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti
ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di
hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam
hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena
itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"
"Saudara-saudara," jawab Tamlikha,
"baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan
bumi!"
"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut
teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk
menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang
itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha
berkata kepada teman-temannya: "Saudara-saudara, kita sekarang sudah
terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari
kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar."
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu
berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena
tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut
mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah
engkau mempunyai air minum atau susu?"
"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,"
sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum
bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan
kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"
"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka.
"Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami
akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"
"Ya," jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua
yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera
bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata:
"Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian.
Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi
kepada kalian."
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala
itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama
kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya."
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi
yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau
benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah
namanya?"
"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi
Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika
enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata
kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar
rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja
dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan
teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan
mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: "Hai orang-orang,
mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain
Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh,
dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t."
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu
pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama
mereka mendekati sebuah gua."
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi
dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah
nama gua itu?!"
Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus
dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara
tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras
sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu.
Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing
yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua
kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t.
memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing
orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh
mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat
terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat
hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai
berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa
mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan
berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang
melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam
orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua.
Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang
tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku
hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari
perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua.
Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!"
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam
semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya:
"Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka
itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu."
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama
309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah
s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai
memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami
lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mataair!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka
lihat mataair itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah
menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka
saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia
berangkat ke kota membawa uang untuk bisa niendapatkan makanan? Tetapi yang
akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan
yang dimasak dengan lemak-babi."
Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara,
aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala,
berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!"
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia
berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama
sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah
diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa
bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah."
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu
sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: "Kusangka aku ini
masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil.
Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah
pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah
nama kota kalian ini?"
"Aphesus," sahut penjual roti itu.
"Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha
lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti.
"Kalau yang kaukatakan itu benar," kata
Tamlikha, "urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku!"
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan.
Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih
besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri
lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar
engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding
dengan uang baru!"
Imam Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul
Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha
dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru!"
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti
lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya
engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak,
engkau akan kuhadapkan kepada raja!"
"Aku tidak menemukan harta karun," sangkal
Tamlikha. "Uang ini kudapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah
kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang
semuanya menyembah Diqyanius!"
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah
setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa
uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja
durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari
300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok
aku?"
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi
menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap
adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana
cerita tentang orang ini?"
"Dia menemukan harta karun," jawab
orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu
takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja
dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya
engkau akan selamat."
Tamlikha menjawab: "Baginda, aku sama sekali
tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!"
Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau
penduduk kota ini?"
"Ya. Benar," sahut Tamlikha.
"Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja
lagi.
"Ya, ada," jawab Tamlikha.
"Coba sebutkan siapa namanya," perintah
raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang,
tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang
hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang
yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di
kota ini?"
"Ya, tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah
seorang menyertai aku!"
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai
Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling
tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang
mengantarkan: "Inilah rumahku!"
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang
lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah
sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua.
Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang:
"Kalian ada perlu apa?"
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut:
"Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!"
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha.
Sambil mengamat-amati ia bertanya: "Siapa namamu?"
"Aku Tamlikha anak Filistin!"
Orang tua itu lalu berkata: "Coba ulangi
lagi!"
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua
itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah
datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri
dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan suara haru:
"Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi.
Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan
mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!"
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu
kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang
menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah
melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke
atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki
Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan
teman-temanmu?"
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua
temannya masih berada di dalam gua.
"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua
orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi
beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing
pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan
ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam
gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan
para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar
suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius
datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di
sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang
diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan,
dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji
dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!"
Tamlikha menukas: "Ada urusan apa dengan Diqyanius?
Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?"
"Kami tinggal sehari atau beberapa hari
saja," jawab mereka.
"Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian
sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia!
Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah
beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu
dengan kalian!"
Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha,
apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh
jagad?"
"Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha
balik bertanya.
"Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan
berbuat seperti itu juga," jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas,
kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan
kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!"
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu
memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah
s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang
menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari
untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang
atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi
menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang
bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua,
sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata:
"Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah tempat
ibadah di pintu guha itu."
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula:
"Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah biara di
pintu gua itu."
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah
melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh
bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah
berfirman, yang artinya: "Orang-orang yang telah memenangkan urusan mereka
berkata: 'Kami hendak mendirikan sebuah rumah peribadatan di atas
mereka'…" (S. Al Kahfi: 21).
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti
menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi
yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi
dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah
semua yang kuceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?"
Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan,
engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang
engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi
bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta
Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di
kalangan ummat ini!"
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua
(Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab
Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang
diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.
Komentar
Posting Komentar